Halim Kalla Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalimantan Barat, Kerugian Negara Capai Rp1,3 Triliun
Liputankilat.com — Kepolisian Republik Indonesia melalui Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri resmi menetapkan Halim Kalla, adik dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik melakukan gelar perkara dan menemukan bukti kuat terkait dugaan penyimpangan dalam proses lelang, pelaksanaan kontrak, serta pengelolaan dana proyek tersebut.
Kronologi Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar
Proyek PLTU 1 Kalimantan Barat dimulai sejak tahun 2008, dengan nilai kontrak mencapai lebih dari Rp1,8 triliun. Pada tahun 2009, kontrak kerja ditandatangani antara PT PLN (Persero) dan konsorsium yang terdiri dari PT Brantas Abipraya (BRN), PT Alton, dan OJSC.
Namun, sejak awal proyek ini sudah diwarnai berbagai perubahan kontrak (amandemen) hingga lebih dari 10 kali. Berdasarkan hasil penyidikan, pelaksanaan proyek disebut berhenti sejak 2016, tetapi pembayaran dari PLN masih terus dilakukan hingga proyek dinyatakan mangkrak.
Polda Kalimantan Barat sempat menangani kasus ini pada tahun 2021, sebelum akhirnya Bareskrim Polri mengambil alih penyidikan pada Mei 2024. Setelah serangkaian pemeriksaan saksi dan audit keuangan, Halim Kalla dan tiga orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Oktober 2025.
Modus Operandi: Manipulasi Lelang dan Pengalihan Pekerjaan
Menurut hasil penyelidikan Kortas Tipikor, dugaan korupsi ini berawal dari permufakatan dalam proses lelang yang telah diatur untuk memenangkan pihak tertentu, yakni PT BRN yang dipimpin oleh Halim Kalla.
Meski konsorsium yang dimenangkan dinilai tidak memenuhi persyaratan teknis dan administrasi, panitia pengadaan tetap meloloskan mereka. Setelah kontrak diteken, pekerjaan proyek justru dialihkan sepenuhnya kepada pihak ketiga, yakni PT Praba Indopersada, melalui perjanjian fee tertentu kepada PT BRN.
Fakta lain yang ditemukan, progres fisik proyek tidak mencapai 60%, namun pembayaran tetap dilakukan seolah proyek telah selesai. Akibatnya, negara mengalami potensi kerugian hingga Rp1,3 triliun.
Empat Tersangka Ditetapkan
Bareskrim Polri telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini, yaitu:
- Halim Kalla (HK) – Presiden Direktur PT BRN
- Fahmi Mochtar (FM) – Mantan Direktur Utama PLN (2008–2009)
- RR – Direktur PT BRN
- HYL – Direktur PT Praba Indopersada
Penyidik juga telah mengajukan pencegahan ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi terhadap keempat tersangka selama proses hukum berlangsung.
“Kami telah menetapkan empat tersangka berdasarkan hasil gelar perkara. Saat ini penyidik sedang mendalami aliran dana serta kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU),”
— Brigjen Pol Roni Kurniawan, Direktur Kortas Tipikor Bareskrim Polri.
Kerugian Negara dan Tindak Lanjut Penyidikan
Berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai kerugian negara mencapai USD 62,4 juta dan Rp 323 miliar, dengan total sekitar Rp1,3 triliun.
Selain dugaan pelanggaran pada UU Tipikor, penyidik juga menelusuri kemungkinan pelanggaran UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengingat adanya aliran dana ke sejumlah rekening perusahaan afiliasi.
Hingga kini, Bareskrim belum melakukan penahanan terhadap para tersangka. Penyidik menyatakan masih menunggu hasil koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk melengkapi berkas perkara.
Reaksi Publik dan Respons Keluarga Kalla
Kasus ini memunculkan sorotan publik luas karena melibatkan tokoh bisnis dari keluarga besar Kalla.
Melalui kuasa hukumnya, Halim Kalla menyatakan siap menghadapi proses hukum dan menegaskan dirinya tidak terlibat langsung dalam operasional proyek PLTU Kalbar.
“Klien kami kooperatif dan akan memberikan klarifikasi sesuai fakta. Kami percaya proses hukum akan berjalan objektif,”
ujar Andi Rahman, kuasa hukum Halim Kalla.
Di sisi lain, berbagai pihak mendorong penegak hukum untuk transparan dan tidak tebang pilih dalam menangani kasus besar seperti ini, demi menjaga integritas sistem hukum nasional.
Pasal yang Disangkakan
Para tersangka dijerat dengan:
- Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
- Jo UU Nomor 20 Tahun 2001,
- serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang turut serta melakukan perbuatan pidana.
Ancaman hukuman maksimal mencapai 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Kasus dugaan korupsi PLTU 1 Kalimantan Barat yang menyeret nama Halim Kalla menjadi ujian besar bagi komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi di sektor energi. Publik kini menanti bagaimana proses hukum ini berjalan — apakah akan menjadi preseden baik bagi keadilan, atau justru berakhir tanpa kejelasan seperti banyak kasus besar sebelumnya.

